Rabu, 18 Mei 2011

Kesalahan Fatal Dari Peretail di Indonesia:

1. Ingin tetap menjual ke semua orang
Pernah mendengar anekdot, salesman yang disuruh menjual sepatu ke suku terasing di Afrika, sedangkan sandal pun tidak mereka ketahui. Kebanyakan salesman percaya mereka bisa menjual apa pun, kepada siapa saja, dan di mana saja. Hal yang sama terjadi pada peretail, karena jiwa peretail pada dasarnya juga salesman maka dia merasa bisa menjual apa saja, di mana saja, dan kepada siapa saja.
Hampir di seluruh peretail mengaku pertama kali mendirikan nisnis retail tanpa kesadaran segmentasi, yakni menjual apa saja dan kepada semua orang. Namun, seiring dengan perjalanan waktu meraka bisa memahami produk apa saja yang cocok dijual untuk pelanggannya. Pengalaman inilah yang menentukan keputusan variasi produk yang dijual, dan jumlah item yang ditawarkan. Akhirnya mereka yakin bahwa menjual tidak bisa kepada siapa pun, kapan pun, dan di mana pun dengan barang apa pun.
Selain itu, harga sewa ruangan yang tiap tahun meningkat, setiap peretail di tanah air pasti berusaha menemukan kombinasi produk yang tepat. Jika ada produk dalam tiga bulan pertama setelah launching tidak laku, biasanya selamanya juga tidak akan sukses. Tidak ada untungnya menunggu dan berharap terjual dalam tempo yang lebih lama karena biaya opportunity-nya besar. Lebih baik segera sadari kesalahan lalu secepatnya melakukan langkah koreksi.

2. Ingin sempurna dalam segala hal
Jika toko Anda bisa menjadi yang paling efisien, maka Anda bisa memposisikan diri sebagai yang paling murah. Jika toko Anda bisa menjadi yang paling peduli dengan pelanggan, maka Anda bisa memposisikan toko dan servisnya paling bagus. Dan, jika toko Anda bisa selalu menyajikan produk terbaru yang tidak dimiliki toko lain, maka Anda bisa memposisikan sebagai toko yang cool.
Sebaliknya jika toko Anda tidak bisa menjadi yang paling efisien, maka jangan pernah memposisikan sebagai toko yang paling murah, karena akan membahayakan umur hidup perusahaan dalam jangka panjang. Demikian juga jika Anda tidak bisa menghadirkan servis prima jangan memposisikansebagai  toko yang memuaskan pelanggan, karena setiap hari pasti Anda akan menerima komplain. Dan, jangan sekali-kali memposisikan sebagai toko yang paling cool dan inovatif jika toko Anda tidak bisa menjamin selalu menyediakan produk terbaru.
Konsistensi ini yang tidak banyak dilakukan peretail lokal. Hari ini beriklan sebagai yang paling inovatif, bulan depan karena pesaing berkampanye harga murah dia ikut-ikutan merevisi iklannya dan berkata sebagai toko termurah. Kampanye banting-bantingan harga ikut, kampanye inovasi juga ikut, ini jelas tidak fokus. Akibatnya kemudian menyamakannya dengan toko pesaing-positioning-nya tidak jelas, diferensiasinya runtuh, dan brand tokonya kehilangan kredibilitas.

3. Tidak percaya pada brand
Dalam bisnis retail, brand seringkali disepelekan peranannya. Sering kita melihat nama sebuah toko yang dibuat “sembarangan” tidak memperhatikan  positioning, diferensiasi, dan fleksibilitas untuk di-leverage  di masa depan. Kebanyakan peretail mengawali bisnisnya dari nol, tidak terlalu memikirkan soal brand. Awalnya mereka sangat percaya bahwa produk dan lokasi lah yang paling menentukan, brand tidak penting. Brand disini bukan hanya sekedar nama, tetapi juga konsistensi penggunaan identitas brand seperti peletakan logo, konsep eksterior, interior gerai, dan penggunaan warna korporat misalnya merah (pizza hut), kuning (papa ron’s), dan biru (Izzi Pizza). Peretail dari luar biasanya sudah sadar akan brand tetapi tidak dengan peretail lokal yang rata-rata mereka baru sadar setelah bisnis berkembang pesat dan perusahaan menyadari dibutuhkannya keseragaman visualisasi gerai yang menjadi identitas yang membedakan dengan pesaing.

4. Salah pilih lokasi yang tidak prospektif
Ketika membuka toko retail, lokasi harus menjadi bayangan pertama yang muncul di benak peretail, setelah memutuskan produk yang akan di jual. Semua lokasi yang tidak strategis tak akan menjadi ramai dengan sendirinya jika aksesnya tidak diperbaiki atau ditambah. Berharap pada “mekanisme alam” yang lambat laun sebuah lokasi pasti dikenal, bagai mengharap bintang jatuh dari langit.

5. Terlalu fokus pada harga untuk menang
Salesman terpintar tidak pernah mengobral barangnya, sebaliknya salesman terbodoh adalah salesman yang selalu minta produknya didiskon. Demikian juga adalam dunia retail, paling gampang menarik pelanggan datang dengan memasang slogan diskon daripada menariknya dengan brand dan servis. Namun, jangan harap bisa mempertahankan loyalitas pelanggan dengan hanya berbekal harga murah, karena begitu mendapatkan toko lain yang harga produknya lebih murah, mereka akan pindah. Harga dan diskon paling gampang ditir dibandingkan dengan brand dan servis, sehingga wajar jika strategi harga dianggap sebagai strategi marketing yang paling mudah diruntuhkan.

6. Menerahkan pada Word of Mouth, tidak menggunakan media
Startegi peretail tradisional pada umumnya yang hanya menyerahkan awareness produk dan tokonya dari komunikasi mulut ke mulut (word of mouth). Alasannya bermacam-macam, mulai dari tidak mempunyai alokasi dana untuk promosi sampai munculnya keyakinan bahwa kredibilitas komunikasi mulut ke mulut lebih tinggi daripada pasang iklan. Selain itu media bisa menjadi alat publisitas yang kredibel untuk menyampaikan value proposition perusahaan kita kepada pelanggan tanpa pelanggan menyadarinya. Media juga bisa dipakai sebagai alat propaganda harga dan kualitas produk. Caranya tentu saja dengan memakainya sebagai sarana iklan hard selling yang to the point.

7. Menunggu pelanggan, tidak menjemput pelanggan
Strategi menjemput bola! Pasti Anda sudah sering mendengarnya, kelihatannya sederhana, tapi percayalah melakukan strategi jemput bola tidak sesderhana yang dipikirkan. Menjemput pelanggan juga tidak bisa terjadi jika servis tidak menjadi budaya perusahaan. Menjemput pelanggan menuntut para customer servis untuk mau duduk di baeah kaki pelanggan. Selain itu para customer servis juga dituntut untuk proaktif, empati, dan selalu berusaha memberikan solusi.serta dituntut untuk bisa menjual ke tiap prospek yang berhubungan dengannya. Untuk melakukan semua ini tentu saja dibutuhkan pelatihan khusus yang intrnsif.

8. Lupa bahwa perilaku pelanggan senantiasa berubah
Tidak pernah akan sama pelanggan yang Anda hadapi hari ini dengan pelanggan yang datang esok pagi dalam hal kebutuhan dan keinginannya. Apalagi dengan perkembangan teknologi, kemajuan ekonomi, dan perubahan cara berinteraksi, sosial budaya dan kemasyarakatan maka permintaan pelanggan semakin hari semakin berubah cepat. Jika tidak bisa mengikuti tren perubahan tersebut maka siap-siaplah ditinggal.

9. Hanya mengejar kepuasan pelanggan, bukan loyalitas pelanggan
Kepuasan pelanggan terjadi jika kualitas produk dan servis yang kita berikan lebih besar dari yang diharapkan pelanggan. Kepuasan pelanggan adalah ukuran yang ingin dikejar setiap pebisnis yang ada di bisnis konsumer dan retail saat ini. Namun, loyalitas pelanggan tidak ada hubungannya dengan kepuasan pelanggan karena sering kali pelanggan tidak tahu pada tingkat berapa dia akan puas.

10. Kelemahan di bidang manajemen
Yang tidak kalah pentingnya adalah pengelolaan atau manajemen dari sebuah bisnis retail sangatlah penting. Tidak sedikit perusahaan retail yang gulung tikar karena menderita kerugian yang terjadi terus-menerus yang disebabkan oleh pengelolaan persediaan yang buruk.